Selasa, 22 Juli 2008

PELAKSANAAN HAJI

Ihram Haji

Ihram untuk haji dapat dilakukan dari manapun. Bila kita berada di Madinah maka tanggal 8 Dzulhijah adalah waktu terakhir bagi jamaah haji meninggalkan Madinah menuju Mina atau Arafah. Barang yang dibawa ke Arafah dan Mina hanyalah tas koper kecil dengan pakaian secukupnya untuk tanggal 9 s.d 13 Dzulhijah.

Kenakan pakaian ihram dari hotel namun belum berniat ihram. Niat ihram untuk haji akan dilakukan dengan mengambil miqat dari Bir Ali (Dzulhulaifah). Lakukan shalat sunnah ihram, lepaskan segala atribut duniawi dan datanglah kepada Allah dengan menghamba dan merendahkan diri. Basahi mulut dengan talbiyah dan doa sepanjang perjalanan ke Mekah.
Malam tanggal 8 Dzulhijah, jalanan dari Madinah ke Mekah sangat padat sehingga waktu tempuh yang biasanya 6 jam bisa bertambah tanpa batas. Diperlukan kesabaran dan ketawakalan kepada Allah agar seluruh prosesi haji dapat dilaksanakan sesuai waktunya.

Sebagian besar jamaah berangkat ke Mina untuk tarwiyah. Baru keesokan harinya menuju Arafah untuk wukuf. Namun mengingat kondisi jalanan banyak yang langsung menuju Arafah. Menghindari resiko terlambat masuk Arafah untuk wukuf.

Selama melaksanakan tarwiyah di Mina, jamaah hanya melaksanakan Shalat Dzuhur, Ashar, magrib, Isya dan Subuh. Pada waktu duha tanggal 9 Dzulhijah, jamaah bergegas berangkat ke Arafah untuk melaksanakan Wukuf. Mengikuti tarwiyah di Mina secara penuh sangat beresiko, karena perjalanan Mina ke Arafah sangat padat sehingga sebaiknya rombongan berangkat ke Arafah sebelum subuh dan beristirahat di Arafah pada waktu dluha hingga menunggu waktu Wukuf yaitu Bada Dzuhur.

Wukuf di Arafah
Wuquf berasal dari kata ”Waqafa” yang artinya ”berhenti”. Dengan mengenakan pakaian ihram, jamaah haji melaksanakan Wukuf atau berdiam di padang Arafah sejak matahari tergelincir tanggal 9 Dzulhijah sampai sebagian malam atau terbit fajar 10 Dzulhijah.

Wukuf dinilai sah walaupun hanya mendapat sesaat selama rentang waktu tersebut, lebih utama bila bisa mendapatkan sebagian waktu siang dan sebagian waktu malam. Selama wukuf, tidak perlu suci dari hadas besar atau kecil sehingga dapat diikuti oleh wanita haid.
Padang Arafah terletak 25 km sebelah Timur Mekah, adalah hamparan padang pasir dan batu yang luasnya sekitar 3,5 X 3 km yang dikelililingi bukit batu berbentuk setengah lingkaran. Kondisinya saat ini sudah tidak terlalu gersang karena banyak ditanami tumbuhan dan fasilitas infrastruktur jalan, listrik, dan air.

Di tengah padang Arafah terdapat bukit kecil bernama Jabal Rahmah yang merupakan tempat pertemuan antara Nabi Adam as dan Siti Hawa setelah berpisah 200 tahun akibat diusir dari syurga. Puncak Jabal Rahmah tersebut kini ditandai dengan sebuah tugu. Di Jabal Rahmah inilah Nabi Muhammad menyampaikan perpisahan kepada kaum muslimin dalam khutbah Arafah.
Tempat ini dinamakan Arafah dari akar kata ‘Ta’aruf’ yang menggambarkan tempat dimana Adam dan Hawa bertemu dan saling mengenal kembali. Menurut riwayat Nabi Adam diturunkan di India sedangkan Siti Hawa di Iraq. Setelah bertemu di Jabal Rahmah mereka kemudian menetap di Mekkah dan mengembangkan keturunannya di sana. Peristiwa pertemuan di Padang Arafah diabadikan setiap tahun oleh Nabi Adam dan diteruskan oleh keturunannya sebagai ibadah sampai sekarang.

Di sini juga tempat Jibril mengajari Ibrahim manasik haji. Setelah selesai, Jibril bertanya kepada Ibrahim “sudah mengertikah engkau?” Yang dijawab oleh Ibrahim “Arraftu” yang artinya ya aku mengerti. Makna lain Arafah adalah tempat dimana manusia mengakui dosa dan kesalahannya “Ya’tarifuun”. Dalam Al Qur’an disebutkan “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masr’aril Haram” (2:198).

Di Arafah turun Ayat terakhir Al Qur’an yaitu surat Al Maidah ayat 3 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam jadi agamamu”. Saat itu banyak sahabat yang menangis karena menyadari bahwa tak lama lagi rasulullah akan dipanggil oleh Allah meninggalkan mereka.

Kegiatan selama wukuf dapat dilakukan di dalam atau di luar tenda berupa: Mendengar khutbah, dzikir, talbiyah, istighfar, Berdo’a sambil menghadap kiblat dengan mengangkat kedua belah tangan, diselingi makan/minum. Sholat Dhuhur dan Ashar dilaksanakan secara jama’ taqdim dan qashar.

Pada waktu Wukuf, Arafah menjadi tempat terbaik di muka bumi untuk dipenuhkannya semua do’a yang dipanjatkan. Sabda Rasulullah SAW :
“Doa paling afdhal adalah doa di hari Arafah”.
“Tidak ada hari yang paling banyak Allah menentukan pembebasan hambanya dari doasa kecuali hari Arafah”.

Doa terbaik waktu itu adalah :

لاَاِلــهَ اِلاَّ اللهُ وَحْـدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ,لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Wukuf di Arafah merupakan simulasi dari Padang Makhsyar di akhirat kelak. Kita akan merasa kecil di hadapan Allah. Siapapun akan menguraikan airmata mengingat berbagai dosa yang telah dilakukan dan adanya jaminan Allah untuk menghapuskannya pada hari Arafah.

”Ya Allah jadikan kami orang yang Kau banggakan di hadapanMu. Ampunilah kami, ampuni kedua orang tua kami, anak saudara kami, berikan berkahmu pada negeri kami. Bimbinglah kami, wafatkan kami dalam keadaan khusnul khotimah dan bantulah kami melawan orang-orang kafir”.

Manfaatkanlah kesempatan tersebut untuk saling meminta maaf kepada pasangan kita. Berdoalah bersama kepada Allah terkait masa depan yang ingin dirajut bersama, sekaligus meminta restu dari Allah yang menyaksikan saat Wukuf tersebut dengan penuh kebanggaan. Allah berkata kepada malaikat “Lihatlah hamba-hambaKu! Mereka datang kepadaKu dengan rambut kusut dan berdebu karena berharap rahmatKu. Maka Aku bersaksi kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka” (HR Ahmad dan Thabrani).

Wukuf di Arafah dilaksanakan saat matahari memancarkan sinar paling terik dalam suasana terang benderang yang mensimbolkan pengetahuan, sains dan wawasan serta menggambarkan hubungan objektif antara pemikiran dan fakta di dunia. Dari pelaksanaan wukuf, kita merasakan betapa luas rahman dan rahim Allah kepada hambanya. Kasih sayangnya tercurah tanpa membedakan ras, kedudukan dan status sosial.

Dengan jaminan pengampunan dosa dari Allah, maka terlepaslah diri dari berbagai beban dosa yang menghimpit sehingga muncul semangat untuk melakukan amal ibadah dan kebajikan yang lebih baik dan dahsyat sepulangnya dari haji. Dosa yang sulit dihilangkan bisa rontok karena hanya dapat dibersihkan dengan wukuf di Arafah. Sabda Rasul ”Di antara berbagai dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan wukuf di Arafah”.

Saat matahari terbenam, wukuf di Arafah berakhir. Tak ada yang dapat dilihat dalam kegelapan sehingga dalam kegelapan tidak ada pengetahuan. Berlatar belakang matahari yang sedang terbenam, jutaan manusia berbondong-bondong meninggalkan Arafah dengan mulut yang basah oleh kalimat takbir menuju Masy’aril Haram atau negeri kesadaran dan berhenti di sana untuk mengumpulkan kekuatan dan senjata.


MABIT DI MUZDALIFAH

Jarak dari Arafah ke Muzdalifah hanya 4 km namun bisa ditempuh berjam-jam akibat padatnya lalu lintas. Mabit di Muzdalifah dilaksanakan mulai matahari terbenam sampai lewat tengah malam 10 DDzulhijah, boleh juga sesaat asal sudah lewat tengah malam dan tidak harus turun dari kendaraannya. Bagi yang udzur boleh meninggalkan Muzdalifah malam itu juga tanpa dikenakan dam.
Kegiatan yang dilaksanakan selama di Muzdalifah adalah :

Shalat Magrib & Isya Jama’ takhir.
Istirahat : berdiam diri, berdoa, dzikir, talbiyah, istighfar
Mengambil kerikil sebanyak 70 butir untuk melontar Jumrah Aqobah.
Tidur sampai Subuh.

Di Muzdalifah, semua jamaah haji duduk di padang pasir dengan beratapkan langit. Tidak ada tenda, tidak ada dinding, tidak ada pintu dan atap. Namun Muzdalifah malam itu menjadi tempat yang mustajab. Di tengah kegelapan malam, jamaah haji menjadi pasukan dan pejuang Tauhid yang merangkak mencari batu kerikil untuk menjadi senjata di Mina. Tatkala mencari batu, berdialoglah dengan Allah. “ Ya Allah, dunia yang aku cari selama ini bagaikan batu yang aku pungut. Ampuni aku ya Allah yang lebih cinta dunia daripada kepadaMu. Terangi hati kami di dunia ini.”

Mabit di Muzdalifah mengandung hikmah berupa perlunya memiliki ‘kesadaran’ yang diperoleh dengan berkonsentrasi dalam kegelapan dan keheningan malam. Kesadaran tidak dapat dipelajari di buku, sekolah atau universitas, melainkan didapat di medan jihad. Untuk mendapat Kesadaran tidak diperlukan cahaya. Di Masy’ar kita berhenti untuk berfikir, menyusun rencana, menguatkan semangat, mengumpulkan senjata dan menyiapkan diri untuk terjun ke medan juang berperang melawan Syetan yang akan dilaksanakan esok pagi setelah matahari menyingsing di Mina.

Pengambilan batu di Muzdalifah di tengah kegelapan malam merupakan symbol agar menjelang perang melawan syetan, kita harus mempersiapkan diri dan senjata secara rahasia, seksama dan tidak tergesa-gesa dalam gelap malam dengan diterangi oleh pengetahuan yang diperoleh dari Arafah. Jamaah haji boleh melintasi tapal batas Muzdalifah bila telah lewat tengah malam.

Selepas dari Muzdalifah ada 2 opsi perjalanan:
Langsung menuju Mina untuk melempar jumrah aqabah lalu tahalul awal sambil mengatur waktu untuk thawaf dan sa’i ke Masjidil Haram.
Menuju ke Mekah terlebih dahulu untuk melaksanakan thawaf ifadhah, sa’I dan tahallul awal baru menuju Mina untuk melontar jumrah aqobah.

Kedua opsi tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kondisi lalu lintas dari Muzdalifah ke Mina atau ke Mekkah yang sangat padat. Walaupun jalan dari Mekah ke Mina, Muzdalifah dan Arafah sangat lebar yang terdiri dari jalur untuk kendaraan maupun untuk pejalan kaki, namun kondisi pada saat musim haji sangat padat, sehingga jarak yang tidak terlalu jauh harus dijalani dalam waktu yang lama dan memerlukan kesabaran tinggi. Yang pasti pada tanggal 10 Dzulhijah, jamah haji harus melakukan Lontar jumrah Aqobah.


MELONTAR JUMRAH AQOBAH di MINA

Dari Muzdalifah, jamaah haji bergerak menuju Mina dengan target melontar Jumrah Aqobah setelah terbit matahari. Perjalanan dari Muzdalifah ke Mina sebenarnya tidak terlampau jauh (kl 7 Km), namun bisa memakan waktu berjam-jam karena kondisi jalan yang padat. Karena itu beberapa jamaah haji lebih memilih berjalan kaki dengan waktu tempuh sekitar 2.5 jam.

Fase terlama dalam ibadah haji berlangsung di Mina yang melambangkan Harapan, cita-cita dan Cinta. Sesampai di Mina, beristirahatlah sejenak di tenda sambil mempersiapkan diri untuk menuju jamarat. Siapkan diri dan senjata yang telah disiapkan di Muzdalifah untuk memerangi simbol Syetan yang dilambangkan dengan sebuah tugu di Jamarat.

Momen ibadah haji yang paling agung tiba pada hari ke-10 Dzulhijah saat matahari membangunkan para prajurit tauhid dari tidurnya. Setelah menghabiskan malam sebelumnya dengan mengumpulkan senjata, berkomunikasi dengan Allah dan menunggu terbitnya matahari di Muzdalifah, di Mina mereka menjadi para prajurit yang secara bergelombang bermanuver menuju Jumrah untuk melakukan serangan. Berjalanlah dengan semangat bergelora dan bacalah Talbiyah untuk menyatakan kesiapan kita menyambut panggilan Allah. Siapkan 7 butir batu dengan target Jumrah Aqobah.

Jumrah pertama dan jumrah yang kedua, lewati saja, karena target kita adalah Jumrah Aqobah sebagai Penghulu dari jumrah lain dan simbolisasi dari Setan Besar.

Ketika melihat Jumrah Aqobah, carilah posisi terbaik untuk dapat melempar Jumrah dengan tepat. Bidiklah dengan 7 batu yang kita siapkan dari Muzdalifah. Untuk setiap lemparan bacalah doa “Rojman lis Syaitoni wa ridho lir rohman. Bismillahi Alloohu akbar”.

Tujuan Jumrah sebenarnya bukan untuk melempar setan yang ada di sana atau yang dulu menggoda Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah. Makna sebenarnya adalah merupakan ikrar dan keberanian yang kita tunjukkan kepada Allah untuk melemparkan semua jenis godaan dan maksiat yang ada di sekeliling kita yang menggoda kita dalam menunaikan perintah Allah.

Selesai melontar Jumrah aqobah, carilah tempat yang aman kemudian menghadap Ka’bah untuk berdo’a menurut keperluan masing-masing dan diakhiri dengan do’a:
Allohummaj alhu hajjan mabruuron wa sa’yan masykuro wa dzanban maghfuuro wa’ amalan shoolihan makbuulan”.
“Ya Allah, jadikanlah ibadah hajiku haji yang mabrur dan sa’I yang diterima, dosa yang diampuni dan amalan shaleh yang dikabulkan “.

Setelah melaksanakan Jumrah Aqabah maka dilakukan penyembelihan hewan qurban dan Tahallul awwal sehingga jamaah boleh berganti pakaian biasa. Semua larangan dalam Ihram sudah diperbolehkan kembali, kecuali hubungan suami istri.

Jamaah akan tinggal di Mina selama 2 atau 3 hari sambil mengatur waktu untuk ke Mekkah melaksanakan Thawaf Ifadhah dan Sa’i yang diakhiri dengan Tahallul tsani.

Melontar Jumrah mengandung hikmah bahwa jika kita akan melaksanakan perintah Allah untuk berbuat kebaikan, maka syetan tidak akan berdiam diri. Dengan berbagai cara dan upaya dia akan berupaya menggoda agar kita mengurungkan niat tersebut. Karena itu dalam setiap melakukan aktivitas hidup hendaklah selalu memohon kepada Allah agar dilimpahi dengan keikhlasan sehingga kita dapat mengatasi godaan syetan karena Godaan syetan tidak akan berlaku kepada orang yang ikhlas.

Jumrah melambangkan perjuangan dahsyat bahwa untuk mencapai tujuan maka kita harus melawan syetan sehingga memerlukan kecerdikan, keberanian dan keikhlasan melawan tantangan syetan yang ditunjukkan dengan pelemparan batu. Syetan adalah makhluk yang gigih dalam melaksanakan keinginannya dan masuk ke dalam diri manusia melalui berbagai cara dari depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan bawah bahkan masuk ke dalam aliran darah kita. Demikian pentingnya Melontar jumrah ini sehingga tidak cukup dilakukan sekali saja melainkan harus dilakukan setiap hari selama 2 atau 3 hari.

Menurut Abdullah bin Umar, sahabat rasul yang sangat alim, Batu kerikil yang dilempar jamaah haji sewaktu melempar jumrah akan diangkat ke langit oleh malaikat, namun hal tersebut hanya berlaku bagi yang hajinya diterima. Sedangkan bagi yang hajinya tidak diterima akan menetap di Jumrah untuk akhirnya dibersihkan oleh Buldoser. Bahkan Mufti Masjidil Haram, Syekh Abu Nu’man al tabrizi pernah menyaksikan batu-batu beterbangan naik ke atas langit. Bahkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata stengah dari jumlah batu yang dilempar raib sedangkan sebagiannya ditemukan di tumpukannya.

Penyembelihan Qurban

Secara harfiah Qurban berarti ‘dekat’ dan dalam konteks ini adalah dekat dengan Allah. Ibrahim a.s telah memberikan contoh kepada umat manusia mengenai makna kedekatan dengan Allah SWT tersebut.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". (Al Baqoroh : 131)

Beliau memberikan contoh sempurna mengenai ketundukan dan kepatuhan yang tulus sebagai wujud dari kedekatan itu. Ibrahim a.s. bersama Ismail a.s., telah membuktikan kepada seluruh umat manusia bahwa jika manusia itu bersedia untuk istiqomah dalam ketundukan dan kepatuhan yang tulus, maka godaan atau cobaan yang betapapun hebatnya akan senantiasa dapat diatasi. Beliau berdua telah menempatkan kepatuhan kepada Allah di atas cinta kasih atau keinginan kepada apapun dan siapapun juga.

Di saat sang putera, yang senantiasa didambakan kehadirannya melalui do’a yang panjang, menginjak usia dewasa datanglah ujian yang luar biasa beratnya kepada Ibrahim a.s., sang ayahanda, melalui mimpinya untuk menyembelihnya. Maka berkatalah sang ayahanda itu kepada putera kesayangannya: “Wahai Ismail, tadi malam melalui mimpi aku menerima perintah Allah yang sangat berat. Aku diperintahNya untuk menyembelih engkau, anakku, dengan kedua tanganku sendiri. Kini aku meminta peritmbanganmu, bagaimana sikap kita terhadap perintah itu?”.

Ismail hanya membutuhkan waktu sekejap mata untuk merenungkan ucapan ayahandanya dan kemudian diucapkanlah: “Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, Engkau akan saksikan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar (Ash-Shaaffaat[37]: 102)

Maka pada saat mereka telah berada di puncak penyerahan diri secara total, ketika Ibrahim a.s. telah dengan mantap meletakkan pedang di atas leher anak kesayangannya, Allah SWT pun berfirman “Wahai Ibrahim, sungguh telah engkau laksanakan perintah dalam mimpi itu dengan benar. Kami pasti menganugerahkan balasan kemuliaan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Sungguh ini adalah ujian yang nyata. Maka Kami mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar (Ash-Shaaffaat[37]: 104-107)

“Dan Kami abadikan nama baik Ibrahim, sebagai teladan bagi generasi kemudian. Kedamaian dan kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim. Begitulah kami karuniakan balasan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Sesungguhnya ia adalah hamba kami yang benar-benar beriman (Ash-Shaaffaat[37]: 108-111)”

Allah mengabadikan peristiwa besar ini untuk dikenang dalam bentuk perintah Qurban kepada kaum mu’minin yang mampu, dengan menyembelih sapi, kambing atau unta. Penyembelihan hewan tersebut tidak dimaksudkan sebagai persembahan kepada Allah, karena Dia tidak membutuhkan apapun juga.

Penyembelihan hewan qurban sebagai pengganti Ismail, menunjukkan bahwa Allah yang menjadi Tuhan kita bukanlah tuhan yang haus darah. Tidak seperti Tuhan yang digambarkan orang Musyrik yang sering mengurbankan manusia untuk Tuhan yang mereka percaya membutuhkannya. Dengan demikian mulai saat itu tidak boleh lagi ada pengurbanan dalam bentuk manusia untuk Allah.

Perintah menyembelih Ismail hanyalah ujian bagi Ibrahim apakah lebih mencintai Allah atau mencintai putranya, dan Ibrahim membuktikan kecintaannya kepada Allah dengan menjalankan perintah Allah dan mengatasi godaan syetan yang tiga kali menghampirinya.

Jika Ibrahim bersedia mengorbankan yang paling dicintainya yaitu ‘Ismail’ maka kitapun diminta hal yang sama yaitu mengorbankan apa yang menjadi sosok ‘Ismail’ yang paling kita cintai. “Ismail” yang harus dikorbankan disimbolkan dengan penyembelihan hewan Kurban, sebagai simbol menyembelih sifat kebinatangan yang ada pada diri kita seperti mau menang sendiri, rakus, buas, serakah dan memakan yang lemah. Seorang yang telah berkurban, namun sifat-sifat kebinatangan masih bercokol dalam dirinya, berarti ia belum berkurban dalam arti yang sesungguhnya.

Daging dan darah Hewan kurban bukan untuk Allah, karena semua tidak akan sampai kepada Allah, melainkan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Hanya keikhlasan dan ketaqwaan dari orang yang berkurban saja yang akan sampai kepada Allah. Untuk mendekati Allah maka kita harus mendekati para fakir miskin dan kaum dhuafa.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-Hajj[22]: 37)”

Kisah heroik Nabi Ibrahim yang bersedia menyembelih Ismail menandai keikhlasan beliau untuk menyembelih hawa nafsunya. Rasa cintanya kepada Tuhan melebihi segala-galanya, bahkan kepada darah dagingnya sendiri. Isyarat yang dapat kita tangkap dari sekelumit kisah di atas adalah mendidik umat manusia untuk rela berkorban. Bahkan jika merujuk pada terminologi Alquran, menyedekahkan sesuatu yang paling kita cintai adalah prasyarat mutlak untuk merengkuh derajat takwa.

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 177).

MABIT DI MINA

Pelaksanaan Mabit di Mina dapat dilakukan selama 2 hari (Nafar Awal) atau 3 hari tasyriq (Nafar Tsani). Kita dapat memilih kedua alternatif sesuai pilihan kita, walaupun Rasulullah sendiri memilih melakukan Nafar Tsani.

Mabit di Mina tidak harus dilakukan semalaman penuh. Asal berada di Mina melebihi separuh malam, misalkan pukul 20.00 s.d 03.00 atau 21.00 s.d 04.00, maka mabit sudah sah. Bila tidak mabit di Mina seluruh hari tasyrik, wajib membayar dam (satu ekor kambing) sementara Bila tidak mabit di Mina dalam satu atau dua malam, harus bayar denda yaitu 1 malam satu mud (3/4 kg beras), dua malam dua mud (1 ½ kg beras).

Selama di Mina Jamaah Haji menginap di tenda dengan kondisi darurat. Makan dan menggunakan toilet harus antri, tidurpun dalam kondisi berdesakan. Kondisi demikian merupakan batu ujian keikhlasan bagi jamaah haji. Tidak sedikit jamaah yang kurang kuat kesabarannya akhirnya melakukan rafats, fusuq dan Jiddal hanya karena hal-hal sepele. Di sinilah kita harus berhati-hati agar kemabruran haji kita tetap terjaga. Namun di balik segala kondisi darurat dan keterbatasan tersebut, justru Mina pada waktu itu adalah tempat terbaik di bumi untuk diisi dengan berdzikir, berdoa, istighfar.

Pada tanggal 11 hingga 12 atau 13 Dzulhijah, jamaah setiap hari harus melontar 3 jumrah yaitu Jumrah Ula, Jumrah Wustho dan Jumrah Aqobah masing-masing dengan 7 batu kerikil dengan waktu melontar dimulai sejak terbit matahari hingga malam hari.

Prosesi jumrah merupakan aktivitas yang cukup berbahaya karena sering menyebabkan korban manusia karena harus berdesakan dengan jutaan manusia. Beberapa jamaah menyalah artikan prosesi ini sebagai pelemparan syetan yang sebenarnya sehingga dilaksanakan dengan penuh emosi dan histeris bahkan dengan menabrak sesama jamaah haji sehingga menimbulkan korban.

Namun kini tempat pelontaran jumrah telah lebih teratur dan aman karena tempatnya sudah diperluas dan jadwal waktu pelontaran diatur per maktab sehingga tidak lagi berdesakan. Bagi orang yang sudah tua atau orang yang sakit, prosesi melontar jumrah dapat diwakilkan kepada orang lain.

Ketiga jumrah merupakan simbol representasi dari berhala dan kekuatan syetan yang selalu mengincar manusia dan siap menyergap agar manusia tidak melakukan apa yang dilakukan Ibrahim. Ketiga berhala melambangkan syetan dengan 3 wajah yang mewakili konsep politheisme sebagai lawan monotheisme. Ternyata konsep politheisme banyak diwujudkan dalam 3 wajah antara lain dalam bentuk Trinitas, Trimurti dan triumphirat materialisme (Fir’aun sebagai simbol penindas, Qarun sebagai simbol kapitalis dan Bal’am sebagai simbol kemunafikan).

Perang antara Monotheisme dan politheisme demikian dahsyat dan berlangsung terus hingga akhir jaman. Silih berganti keduanya berebut kepemimpinan dunia. Dalam berbagai kesempatan Politheisme menjadi pemimpin dunia. Mereka menginginkan agar kita lebih mencintai ’Ismail” dibandingkan mencintai Allah dan menyesatkan kita dari jalan Allah. Kini di Mina, dengan berperan sebagai Ibrahim, kita hancurkanlah ketiga syetan tersebut dan tembak dengan senjata yang telah kita siapkan !!!

Sebenarnya setelah Iedul Adha tanggal 10 Dzulhijah, segala bentuk ritus haji telah selesai, Syetan telah dikalahkan, kurban sudah dilaksanakan, pakaian ihram sudah ditanggalkan dan Ied Adha telah dirayakan. Namun mengapa kita diharuskan tetap bertahan dan bermalam selama Dua atau tiga hari di Mina ?

Mina adalah lembah gersang, tak ada tempat menarik untuk dilihat, tak ada tempat untuk belanja dan tidak cocok ditinggali. Ketika semua orang telah pergi, Mina akan kembali menjadi daerah gersang yang tidak akan ditinggali manusia. Namun Mina adalah Negeri Cinta, perjuangan dan tempat manusia mengucapkan janji kepada Allah untuk beramar maruf nahi munkar. Selama dua atau tiga hari di Mina, jamaah haji diminta untuk merenung tentang apa yang dilakukan selama melaksanakan ibadah Haji dan meresapi makna haji.

Setelah mengalahkan setan dan kembali dari tempat kurban, Allah meminta setiap orang memperbaharui perjanjian mereka dengan Allah sebagai saksi bahwa mereka akan berusaha memperkuat keyakinan Monotheis dengan menghancurkan semua berhala di dunia dan menegakkan masyarakat yang aman dan damai yang berlandaskan tauhid.

Jamaah haji diminta saling berkenalan dan mendiskusikan permasalahan UMMAH yang masih terjangkit kebodohan dan perpecahan yang mengancam persatuan dan kesatuan. Jutaan Muslim dimintai untuk tidak mengakhiri Hajinya kemudian bubar melanjutkan kehidupan pribadi masing-masing. Mereka harus duduk dan mendiskusikan berbagai problem bersama. Mereka harus berjuang untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan Global dengan mengajukan pertanyaan yang berlaku sepanjang masa ”Apa yang harus kulakukan untuk masyarakat”. Islam mengajarkan bahwa Allah membenci ahli ibadah yang mementingkan diri sendiri.

Dengan melaksanakan Haji kita melaksanakan peran sebagai Ibrahim dan Ismail sebagai awal dari tugas ”Melayani Orang Lain”. Di ujung pergelaran haji, semua jamaah haji yang telah mengalahkan setan seperti yang dilakukan Ibrahim mengorbankan EGOISME dengan melakukan Muktamar agung yang beratapkan langit luas sebelum kembali ke Mekah dan kampung halaman masing-masing.

Thawaf Ifadah dan sai

Thawaf Ifadah dan sa’I adalah bagian dari rukun haji sehingga harus dilakukan dalam bulan-bulan haji. Disela-sela Mabit di Mina setelah lewat tengah malam tanggal 10 Dzulhijah hingga hari tasyrik tanggal 12 atau 13 Dzulhijah atau kapan saja dalam bulan Dzulhijah, Jamaah haji diminta untuk menuju Mekkah melaksanakan Thawaf Ifadhah dan Sai sebagai rangkaian rukun haji sehingga apabila tidak dikerjakan, maka tidak sah hajinya.

Apabila selesai melaksanakan thawaf ifadhah, sai dan tahalul segera kembali ke Mina sebelum matarahari terbenam setelah Sholat Ashar di Masjidil Haram dan harus masuk Mina sebelum maghrib. Jamaah tidak boleh menginap di Makkah.

Dalam keadaan berwudhu, Masuklah ke Masjid Al-Haram dari Bab As-Salam atau Bab Bani Syaibah menuju rukun Hajar Al-Aswad untuk memulai Thawaf. Mulailah melakukan Thawaf sampai 7 putaran dilanjutkan dengan prosesi Sa’I antara shafa dan Marwah dan diakhiri dengan tahalul Tsani.

Tahalul

Tahallul adalah keadaan seseorang yang sudah bebas (halal) dari ihram baik umrah maupun haji karena telah menyelesaikan amalan-amalan haji yang ditandai dengan memotong sebagian atau seluruh rambut di kepala.

Terdapat perbedaan antara tahallul haji dan tahallul umrah. Dalam umrah, tahalul hanya dilakukan satu kali saja yaitu selesai sa’i, sementara tahallul haji dilaksanakan dua kali yaitu tahallul awal dan tahallul tsani.

Orang yang telah selesai amalan haji hingga fase melontar jumrah aqobah namun belum melakukan thawaf ifadah maka telah dapat melakukan tahalul awal yaitu melakukan potong rambut sebagian/seluruhnya sehingga dapat melepaskan diri dari keadaan ihram kecuali berhubungan suami istri.

Apabila jumrah aqobah sudah dilakukan begitu juga dengan thawaf ifadhah dan sai maka jamaah haji dapat melakukan Tahallul tsani sehingga ia sudah bebas dari ihram termasuk berhubungan suami istri.

Bagi pria, disunatkan mencukur habis atau memotong/memendekkan rambut kepala atau sekurang-kurangnya memotong sebelah kanan, tengah dan kiri. Bagi wanita afdolnya rambut dikumpulkan menjadi satu kemudian ujungnya dipotong atau memotong minimal 3 helai rambut sepanjang jarum. Boleh menggunting sendiri atau dengan bantuan orang lain. Pria boleh menggunting wanita atau sebaliknya, apabila ada hubungan mahram; bila tidak ada, hukumnya haram.

Tahalul dengan menculur rambut dapat diartikan membuang kotoran dosa yang tempat mangkalnya di rambut. Pada Tahalul kedua lebih disukai jika laki-laki mencukur gundul rambutnya daripada memotong pendek. Rasulullah mendoakan sahabat yang dicukur habis tiga kali sedangkan yang dipendekkan hanya sekali.

Thawaf WADA’

Setelah seluruh kegiatan haji/umrah selesai maka sesaat sebelum Jamaah meninggalkan Makkah untuk kembali ke negaranya diwajibkan melaksanakan Thawaf Wada sebagai perpisahan dengan Baitullah.
Setelah melakukan Thawaf Wada’ tidak boleh lagi ada kegiatan peribadatan di Tanah Suci, karena sudah ditutup dengan Thawaf Wada. Thawaf dilakukan tanpa lari-lari kecil dan tanpa Sa’i. Bagi wanita haid diberi kelonggaran (rukhsah) untuk tidak Thawaf Wada’ dan Hajinya tetap sah.

Sungguh menyedihkan bagi seorang haji harus meninggalkan Kabah dan masjidil haram setelah sekian lamanya bertamu dan bermesra-mesraan dengan Allah di rumahnya. Berdirilah di depan multazam dan berdo’a semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada Rasulullah saw, keluarganya, para shahabatnya, dan kepada tabi’in para penegak risalah hingga akhir jaman.

”Ya Allah terimalah amal ibadah kami, bukakanlah pintu rahmatMu. Berilah kesempatan kepada kami kembali ke rumahmu dengan anak dan keluarga kami. Wafatkanlah kami dalam keadaan khusnul kHatimah dan kumpulkan kami dengan rasulmu”.

Tidak ada komentar: